PART 8
Tanpa diduga air mata
menetes dipipinya. Pandangannya masih terpusat pada keluarga itu. Ia melihat
keluarga itu seperti refleksi dari keluarganya. Hanya saja, takdir mereka
berbeda, atau mungkin?.
Tak terasa waktu semakin berlalu, siang berganti sore,
dan sore berganti malam. Jarum jam ditangan itu menunjukkan pukul 09.00. Para
karyawan semua keluar dan pulang menuju rumah mereka masing – masing. Begitu
juga dengan Shasi, Rara, dan Tina. Mereka menuju pangkalan angkot yang berada
tak jauh dari pusat perbelannjan itu. Sambil jalan, mereka berbincang – bincang
mengenai hari pertama kerja dan hal – hal unik apa saja yang alami. Namu,
kejadian yang menimpanya tadi siang, Shasi menutupnya rapat – rapat. Dari arah
belakang, terdengar bunyi klakson motor. Sontak mereka kaget dan menoleh
kebelakang.
“Njir, dasar kunyuk. Dikiran gua siapa.” Grutu Rara
sambil memukul pundak Toni. Mereka memang baru kenal, namun chemistri diantara
mereka cukup kuat.
“Aduh, duh.”
“Tau
lu, emang lu kira jalan punya nenek moyang lu.”
“Hahaha, sorry sorry. Becanda kali. Oh ya lu pada pulang
kemana?”
“Kalau gua, searah sama Tina.” balas tina
“Oh, kalau li si?”
“Kalau si Shasi deket, enak diamah.” Jawab Tina tiba –
tiba
“Tau dari mana lu?”
“Ya nebak aja sih, tapi bener gak si?”
“Iya, kamu bener. Tinggal naik angkot bentar juga
nyampe.”
“Tuh kan, bener apa kata gua. Emang gua ini punya
sixscience”
“Huuu, lebay lu. Ya udah, gua anter aja ya si.”
“Cieee, susah suit.” Ledek Rara.
“Apaan sih.” Shasi tersipu malu.
“Ya udah si ikut aja. Lumayan hemat ongkos.”
“Enggak usah ton, nanti ngerepotin.”
“Enggak kok, enggak papa, gimana?”
“Udah sini” Rara langsung menarik tangan Shasi dan
mendorong tubuhnya mendekati motor Toni “lu mendingan naik, lagian juga udah
malem. Mana lu pulang sendirian lagi si.”
“Ya udah, tapi enggak papa kan.”
“Enggak kok. Tenang, nanti gua bakal anterin lu nyampe
depan rumah.”
“Tuh kan. Ya udah buruan naik. Hati – hati ya ton, awa lu
macem – macem.” Ancam Rara.
“Iye baweeel.” Ledek Toni. Shasi pun naik ke motor Toni.
Toni memberikan helm miliknya dan mereka berangkat menuju rumah Shasi. Rara dan
Tina langsung bergegas menuju pangkalan mobil karena hari semakin larut malam. Rumah
mereka yang cukup jauh, menyita tenaga dan fikiran mereka. Alhasil, sesampainya
di mobil bus, mereka langsung mencari tempat duduk dan tidur.
- 0 -
Ruangan ini terasa hening.
Hampa. Hanya lukisan abstrak yang menjadi penghias dinginnya dinding. Lukisan
itu, menyiratkan berbagai macam pesan yang ingin disampaikan. Sayangnya, kita
terhipnotis dengan buaian warna itu. Semakin dia melangkah denyit suara lantai
kayu itu semakin terdengar. Ia amati satu persatu lukisan itu. Semakin disimak,
ia merasa ada sesuatu yang salah dengan lukisan itu. Langkahnya kini terhenti
disatu lukisan yang berada di sudut ruangan. Lukisan itu berukuran cukup besar
dengan bingkai kayu yang terlihat sudah lapuk dimakan zaman. Tanganya menyentuh
bingkai itu. Tekstur kayu yang kasar dan lapuk menambah keantikan dari lukisan
itu. Pandangannya tak melewatkan satu inci dari lukisan itu. Mencoba memahami
arti dari geresan kuas berwarna itu.
“Bagaimana? Menarik bukan?” tiba – tiba ada suara yang
menggema disekeliling ruangan. Gadis itu merasa ketakutan dan sontak menarik
tangannya dari lukisan itu, tetapi tampa diduga tangannya tertusuk oleh
serpihan kayu dai bingkai itu. Ia merasakan sakit pada jari telunjuknya. Dengan
hati – hati ia menarik serpihan kayu itu dari ujung jari telunjuk, tetesan
darah mengalir dari dalam kulit.
“Tak usah khawatir.” Suara itu menggema kembali. Namun
kali kini suara itu terasa sangat dekat. Dari kegelapan muncul seorang gadis kecil
yang sedang memegang boneka. Shasi merasa tak asing dengan wajah dan boneka
itu, tapi ia masih mencoba untuk mengingat.
“Kamu? Kamu siapa?”
“Lama tak bertemu, bagaimana kabar mu?”
“Tunggu, kamu ini siapa?” gadis kecil itu hanya membalas
dengan senyuman. Ia lalau mendekati Shasi. Melihat darah yang menetes dari jari
Shasi, ia langsung menarik tangan Shasi.
“Kamu mau apa?”
“Jangan takut.” Gadis itu menggenggam jari telunjuk
Shasi. Ia merasa sedikit kesakitan namun perlahan rasa sakit itu hilang dan
gadis kecil itu melepas genggaman tangannya. Shasi kaget melihat jarinya sudah
sembuh sekaligus heran dan sedikit takut.
“Kamu siapa? Dan saya ada dimana?” Gadis itu diam saja
dan berbalik arah meninggalkan Shasi. Karena penasaran, Shasi mengejar dari
belakang. Semakin lama gadis itu semakin jauh dan tidak terlihat lagi keberadaannya.
Shasi tetap mengejar, semakin lama ia melihat cahaya terang didepannya. Ia
terus berlari tampa memikirkan kondisi disekitar. Semakin lama, ia semakin
tertelan oleh cahaya itu dan membawanya kesuatu tempat.
Kaki itu tiba – tiba terhenti. “Ini?” Tempat ini. Lampu,
senyum itu, dan wahana itu. Tempat ini, merupakan awal dari kisah itu bermula. Ia
berjalan menelusuri padatnya kerumunan orang. Menembus berbagai dimensi yang
semakin mengingatkannya dengan kejadian itu. Orang – orang itu, menikamati
suasana dan terbawa pada badai kesenangan yang mungkin untuk mereka itu adalah
hadiah dari hari – hari yang telah mereka lalui. Dari kejauhan ia melihat gadis
itu berdiri persisi seperti beberapa tahun yang lalau. Ia semakin heran,
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyanya dalam hati. “Gadis itu.” Ia mencoba
mendekati gadis itu, namun sebelum ia sampai gadis itu tetabrak persis seperti
waktu itu dan motor itu maju tampa berhenti menembus kerumunan, pada akhirnya .
. . 
No comments:
Post a Comment