Tuesday, August 4, 2015

Help Me!



PART 8
            Tanpa diduga air mata menetes dipipinya. Pandangannya masih terpusat pada keluarga itu. Ia melihat keluarga itu seperti refleksi dari keluarganya. Hanya saja, takdir mereka berbeda, atau mungkin?.
            Tak terasa waktu semakin berlalu, siang berganti sore, dan sore berganti malam. Jarum jam ditangan itu menunjukkan pukul 09.00. Para karyawan semua keluar dan pulang menuju rumah mereka masing – masing. Begitu juga dengan Shasi, Rara, dan Tina. Mereka menuju pangkalan angkot yang berada tak jauh dari pusat perbelannjan itu. Sambil jalan, mereka berbincang – bincang mengenai hari pertama kerja dan hal – hal unik apa saja yang alami. Namu, kejadian yang menimpanya tadi siang, Shasi menutupnya rapat – rapat. Dari arah belakang, terdengar bunyi klakson motor. Sontak mereka kaget dan menoleh kebelakang.
            “Njir, dasar kunyuk. Dikiran gua siapa.” Grutu Rara sambil memukul pundak Toni. Mereka memang baru kenal, namun chemistri diantara mereka cukup kuat.
            “Aduh, duh.”
“Tau lu, emang lu kira jalan punya nenek moyang lu.”
            “Hahaha, sorry sorry. Becanda kali. Oh ya lu pada pulang kemana?”
            “Kalau gua, searah sama Tina.” balas tina
            “Oh, kalau li si?”
            “Kalau si Shasi deket, enak diamah.” Jawab Tina tiba – tiba
            “Tau dari mana lu?”
            “Ya nebak aja sih, tapi bener gak si?”
            “Iya, kamu bener. Tinggal naik angkot bentar juga nyampe.”
            “Tuh kan, bener apa kata gua. Emang gua ini punya sixscience”
            “Huuu, lebay lu. Ya udah, gua anter aja ya si.”
            “Cieee, susah suit.” Ledek Rara.
            “Apaan sih.” Shasi tersipu malu.
            “Ya udah si ikut aja. Lumayan hemat ongkos.”
            “Enggak usah ton, nanti ngerepotin.”
            “Enggak kok, enggak papa, gimana?”
            “Udah sini” Rara langsung menarik tangan Shasi dan mendorong tubuhnya mendekati motor Toni “lu mendingan naik, lagian juga udah malem. Mana lu pulang sendirian lagi si.”
            “Ya udah, tapi enggak papa kan.”
            “Enggak kok. Tenang, nanti gua bakal anterin lu nyampe depan rumah.”
            “Tuh kan. Ya udah buruan naik. Hati – hati ya ton, awa lu macem – macem.” Ancam Rara.
            “Iye baweeel.” Ledek Toni. Shasi pun naik ke motor Toni. Toni memberikan helm miliknya dan mereka berangkat menuju rumah Shasi. Rara dan Tina langsung bergegas menuju pangkalan mobil karena hari semakin larut malam. Rumah mereka yang cukup jauh, menyita tenaga dan fikiran mereka. Alhasil, sesampainya di mobil bus, mereka langsung mencari tempat duduk dan tidur. 

                                                                            - 0 -

            Ruangan ini terasa hening. Hampa. Hanya lukisan abstrak yang menjadi penghias dinginnya dinding. Lukisan itu, menyiratkan berbagai macam pesan yang ingin disampaikan. Sayangnya, kita terhipnotis dengan buaian warna itu. Semakin dia melangkah denyit suara lantai kayu itu semakin terdengar. Ia amati satu persatu lukisan itu. Semakin disimak, ia merasa ada sesuatu yang salah dengan lukisan itu. Langkahnya kini terhenti disatu lukisan yang berada di sudut ruangan. Lukisan itu berukuran cukup besar dengan bingkai kayu yang terlihat sudah lapuk dimakan zaman. Tanganya menyentuh bingkai itu. Tekstur kayu yang kasar dan lapuk menambah keantikan dari lukisan itu. Pandangannya tak melewatkan satu inci dari lukisan itu. Mencoba memahami arti dari geresan kuas berwarna itu.
            “Bagaimana? Menarik bukan?” tiba – tiba ada suara yang menggema disekeliling ruangan. Gadis itu merasa ketakutan dan sontak menarik tangannya dari lukisan itu, tetapi tampa diduga tangannya tertusuk oleh serpihan kayu dai bingkai itu. Ia merasakan sakit pada jari telunjuknya. Dengan hati – hati ia menarik serpihan kayu itu dari ujung jari telunjuk, tetesan darah mengalir dari dalam kulit.
            “Tak usah khawatir.” Suara itu menggema kembali. Namun kali kini suara itu terasa sangat dekat. Dari kegelapan muncul seorang gadis kecil yang sedang memegang boneka. Shasi merasa tak asing dengan wajah dan boneka itu, tapi ia masih mencoba untuk mengingat.
            “Kamu? Kamu siapa?”
            “Lama tak bertemu, bagaimana kabar mu?”
            “Tunggu, kamu ini siapa?” gadis kecil itu hanya membalas dengan senyuman. Ia lalau mendekati Shasi. Melihat darah yang menetes dari jari Shasi, ia langsung menarik tangan Shasi.
            “Kamu mau apa?”
            “Jangan takut.” Gadis itu menggenggam jari telunjuk Shasi. Ia merasa sedikit kesakitan namun perlahan rasa sakit itu hilang dan gadis kecil itu melepas genggaman tangannya. Shasi kaget melihat jarinya sudah sembuh sekaligus heran dan sedikit takut.
            “Kamu siapa? Dan saya ada dimana?” Gadis itu diam saja dan berbalik arah meninggalkan Shasi. Karena penasaran, Shasi mengejar dari belakang. Semakin lama gadis itu semakin jauh dan tidak terlihat lagi keberadaannya. Shasi tetap mengejar, semakin lama ia melihat cahaya terang didepannya. Ia terus berlari tampa memikirkan kondisi disekitar. Semakin lama, ia semakin tertelan oleh cahaya itu dan membawanya kesuatu tempat.
            Kaki itu tiba – tiba terhenti. “Ini?” Tempat ini. Lampu, senyum itu, dan wahana itu. Tempat ini, merupakan awal dari kisah itu bermula. Ia berjalan menelusuri padatnya kerumunan orang. Menembus berbagai dimensi yang semakin mengingatkannya dengan kejadian itu. Orang – orang itu, menikamati suasana dan terbawa pada badai kesenangan yang mungkin untuk mereka itu adalah hadiah dari hari – hari yang telah mereka lalui. Dari kejauhan ia melihat gadis itu berdiri persisi seperti beberapa tahun yang lalau. Ia semakin heran, “Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyanya dalam hati. “Gadis itu.” Ia mencoba mendekati gadis itu, namun sebelum ia sampai gadis itu tetabrak persis seperti waktu itu dan motor itu maju tampa berhenti menembus kerumunan, pada akhirnya . . .

No comments:

Post a Comment