PART 9
“Shasi? Si?” Butiran
keringat keluar dari pori – pori kulitnya. Wanita tua itu dengan panik mencoba
membangunkan anaknya yang sudah beberapa hari tidak sadarkan diri. Ia mengambil
handuk yang berada di atas meja lalu mengusap muka anaknya.
“HAH.” Sontak Shasi pun tersadar. Badannya terpental duduk
seolah ada yang mendorong dan matanya, menyiratkan rasa ketakutan dan
kepanikan. Ibunya yang berada di samping merasa kaget sekaligus senang karena
anaknya sudah sadar.
“Shasi, syukur nak kamu sudah sadar.”
Mukanya
masih menyiratkan kebingungan. “Sebenarnya apa yang terjadi tadi. Bu aku
kenapa?”
“Kamu sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari nak.”
“Hah, tiga hari. Emangnya aku kenapa?” ia melihat sekujur
tubuhnya dan mendapati tangannya kirinya yang dibalut oleh kain perban. “Lalu
bu, tangan aku kenapa?”
“Kamu tidak ingat nak? Kamu habis kecelakaan.”
“Hah, kecelakaan?”
“Iya, waktu kamu pulang kerja.”
“Pulang kerja? Toni? Bu Keadaan Toni gimana?”
“Toni? Oh lelaki itu, dia teman kamu? Ibu tidak tau nak,
ibu hanya melihat dia sekilas waktu dirumah sakit. Tapi kamu tidak usah
khawatir dia sudah di urus oleh keluarganya.”
“Oh syukurlah.” Mereka berpelukan sambil mengucap syukur.
Shasi duduk didepan rumah sambil menatap kondisi sekitar.
Ia mencoba mengingat – ingat kejadian tiga hari yang lalu. Sebenarnya apa yang
terjadi, kenapa ia dan Toni bisa kecelakaan. Shasi mencoba mengingat, tetapi
hanya gambaran gelap yang ia dapatkan. “Toni, bagaimana dengan keadaanya saat
ini?” tanya Shasi dalam hatinya.
“Kak Shasi, kak.” Suara Caca terdengar dari dalam.
“Ia ca, kakak di luar.” Gadis itu muncul dari belakang
Shasi dengan tangan memegang boneka.
“Kak, kata ibu makan dulu habis itu minum obat.”
“Ia.” Jawab Shasi dengan tatapan ke depan namun, ketika
Shasi mengalihkan perhatiannya ke adiknya, ia terkejut dengan apa yang ia
lihat. Shasi melihat sosok anak kecil itu dan sontak ia menjerit pelan. Shasi mengusap
matanya dengan kedua tangan memastikan apa yang ia lihat itu salah. Namun
setelah ia mengusap mata, sosok anak kecil itu berubah menjadi adiknya kembali.
Heran melihat ekspresi kakaknya Caca pun menanyakannya
kepada Shasi. “Kakak kenapa?”
“Engh, eng, enggak papa kok. Oh ya kamu dapat boneka itu
dari mana?”
“Oh ini, aku dikasih sama nenek kak.”
“Nenek? Nenek siap? Bukannya nenek kita sudah meninggal?”
“Bukan itu kak, jadi ceritanya waktu itu aku nangis terus
ada nenek yang coba hibur aku dan dia kasih boneka ini ke aku dan sebagai
ucapan terimakasih aku kasih nenek itu roti yang aku beli di sekolah kakak dan
dia senang.”
“Ooh, terus neneknya pergi kemana?”
“Aku enggak tau kak.”
“Oh ya udah. Kaka boleh lihat bonekanya enggak?”
“Boleh kak, ini.” Shasi mengambil boneka itu dan
memperhatikan dengan seksama apa benar boneka itu sama seperti dengan boneka
punya anak kecil itu. Ternyata benar, sama seperti boneka anak kecil itu. Entah
kebetulan atau tidak? Tapi, Shasi mencoba untuk berfikir positif, tidak hanya
anak itu yang punya boneka ini, banyak anak kecil lain yang mempunyai boneka
ini.
‘Shashi, makan dulu nak biar abis itu kamu minum obat.”
Suara bu Minah terdengar dari dalam.
“Ia
bu.” Balas Shasi. “Ya udah yuk makan bareng-bareng dek.” Kata Shasi ke adiknya
sambil mengembalikan boneka itu.
- 0 -
“Lu tau kagak rumahnya
Shasi?” tanya Rara dengan logat betawinya yang masih kental.
“Iya gua tau, tadi kata orang itu tinggal lurus aja abis
itu belok kiri.”
“Mana belokannye. Perasaan ni jalan lempeng aje udah
kayak jembatan shirothol mustakim.”
“Ya elah, sabar napa mpok. Iye dah yang udah pernah
ngerasain jembatan shirothol mustakim mah.”
“Hehehe sial lu. Oh iya no belokannya, cepet tin udah gak
sabar gua pengen istirahat.”
“Iya sabar bu, Tadi aja bawel.” Setelah perjalanan yang
cukup lama akhirnya mereka sampai di rumah Shasi. Tampa banyak fikir lagi, Rara
langsung mengetuk pintu rumah Shasi. Setelah menunggu beberapa detik pintu
rumah itu pun terbuka dan keluarlah sosok anak kecil yang tak bukan adalah
adiknya Shasi.
“Dek, Shasinya ada?” tanya Rara
“Ada kak, maaf kakak ini siapa ya?”
“Oh, kita teman kerjanya Shasi.”
“Oh teman kerja kakak, silahkan masuk kak.”
“Ia dek, terimakasih.” Caca langsung pergi memanggil
Shasi yang sedang berada di dapur. Tak lama kemudian, Shasi pun keluar. Shasi
cukup terkejut melihat teman-temannya yang datang menjenguknya.
“Rara, Tina. Kalian apa kabar?”
“Salah kali, seharusnya kita yang nanya ke lu, kita sih
baik-baik aja, lu gimana keadaannya si? ”
“Hahaha, aku udah mendingan kok. Oh ya kalian tau rumah
aku dari siapa?”
“Kita tau rumah lu dari Toni.” Saut Rara
“Toni? Gimana keadaanya? Dia baik-baik aja kan?”
“Ciee perhatian banget sih.” Ledek Rara namun, Shasi
hanya tertunduk malu.
“Tenang aja, untungnya dia enggak kenapa-kenapa. Dia cuma
butuh istirahat lebih lama lagi.”
“Alhamdulillah.”
“Oh ya si, maaf nih. Rumah lu kan jauh banget jalannya.
Agak seret tenggorokannya?” modus Rara
“Oh ya, tunggu sebentar ya aku ambil minumnya dulu.
Sampai lupa.”
“Udah si gak usah di dengerin nih anak satu, kasih aja
air kobokan.” Ledek Tina
“Iklan jeruk makan jeruk kali gua.” Balas Rara
“Hahaha, udah gak papa kok. Tunggu sebentar ya.”

No comments:
Post a Comment